
Di tengah kompleksitas isu sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang marak pada beberapa waktu terakhir, seni telah menjadi ruang alternatif yang dimanfaatkan oleh anak muda Indonesia untuk menyuarakan keresahan, membangun kesadaran kolektif, menyampaikan kritik, dan mendorong perubahan. Bagi mereka, seni bukan hanya menjadi karya yang dinikmati keindahannya, tetapi juga menjadi bentuk ekspresi yang mampu menyuarakan protes tanpa harus dibatasi oleh batas-batas politik, sosial, maupun moral. Seni menjadi suatu media yang memungkinkan anak muda Indonesia untuk menyampaikan pesan-pesan kritis tanpa harus bersifat konfrontatif, namun pesan protes tetap tersampaikan, bahkan ketika aksi fisik dibatasi oleh regulasi dan tekanan politik. Adanya seni pun dapat memunculkan perasaan empati, menjadi inspirasi terhadap karya seni lainnya, perubahan pola pikir, hingga menimbulkan perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

Menjadikan seni sebagai bentuk protes bukanlah hal yang baru di Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan ini semakin berkembang melalui keterlibatan anak muda Indonesia, serta adanya pemanfaatan ruang digital. Ekspresi ini dapat dilihat dalam bentuk mural dan graffiti yang muncul di ruang publik atau di sekitar aksi massa. Musik pun menjadi media protes yang kuat, banyak musisi di Indonesia membahas isu krisis lingkungan, hak asasi manusia, kekerasan berbasis gender, dan kebijakan publik yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Selain itu, media seperti zine, puisi, pertunjukan teater jalanan, hingga konten visual di media sosial menjadi media yang efektif untuk menyampaikan opini kritis dan dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Melalui karya seninya, para seniman berperan sebagai penghubung antara seni dengan isu-isu yang menjadi keresahan publik.

Meskipun demikian, menggunakan seni sebagai bentuk protes di Indonesia tidak lepas dari risiko. Banyak seniman harus menghadapi penyensoran, pembungkaman, bahkan intimidasi atas karya yang dianggap meresahkan atau mengganggu ketertiban umum. Perlindungan hukum terhadap kebebasan berkesenian pun masih lemah, terutama terhadap seniman independen. Selain itu, masih ada stigma negatif bagi seniman yang menyuarakan kritik yang kemudian membatasi ruang gerak mereka. Selain itu, adanya penolakan dan ketidakberdayaan dalam masyarakat dalam menerima pesan yang disampaikan melalui karya seni pun merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi.
Dalam situasi dimana ruang demokrasi semakin terbatas dan kebebasan berekspresi berisiko dikriminalisasi, banyak anak muda Indonesia tetap memilih untuk bersuara melalui karya seni. Bagi Evinka Zahra, salah satu peserta Freedom Unleashed, karya seni merupakan salah satu bentuk kritik yang paling mudah diterima oleh masyarakat karena seni sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga kritik melalui seni terasa lebih efektif dan kuat daya jangkau emosinya. Ia percaya bahwa seni mampu membuka perspektif baru tanpa menggurui, membuat isu-isu berat seperti kebebasan sipil dan HAM terasa lebih membumi dan emosional. Namun, Evinka juga menyadari bahwa dukungan terhadap dunia seni di daerah, khususnya di Pontianak, masih minim. Harapannya agar anak muda yang berjuang di lakur seni bisa mendapat fasilitas dan dukungan yang lebih baik, seperti taman budaya dan ruang-ruang publik lainnya benar-benar difungsikan untuk mendukung ekosistem seni dapat berkembang lebih sehat dan berkelanjutan.

Sementara itu, peserta Freedom Unleashed lainnya, Chairunnisa, menegaskan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menembus batas emosi, logika, bahkan sensor. Dalam kondisi sosial politik yang kerap membatasi kritik terbuka, karya seni hadir sebagai media yang tetap tajam tanpa perlu bersifat konfrontatif. Ia melihat potensi besar dalam cara seni menggugah rasa ingin tahu, membuka ruang tafsir, dan mengajak publik untuk berdiskusi. Sebagai seniman muda, ia ingin berkarya tanpa rasa takut disensor atau diintimidasi. Ia menegaskan bahwa negara tidak cukup hanya membebaskan, tetapi juga harus berpihak dengan memberikan perlindungan yang nyata bagi para pekerja seni agar kebebasan berkesenian tetap hidup karena masyarakat dapat belajar memahami dirinya sendiri dan realitas yang mereka hadapi.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
English Version:
Artivism as a Tool of Protest for Young People in Indonesia
Amidst the complexities of recent social, economic, political, and environmental issues, art has become an alternative space utilized by Indonesian youth to voice their concerns, build collective awareness, deliver criticism, and drive change. For them, art is not merely a work appreciated for its aestheticaly, but also a form of expression capable of medium of protest without being confined by political, social, or moral boundaries. Art serves as a medium that allows Indonesian youth to convey critical messages non-confrontationally, yet the message of protest is still delivered, even when physical actions are limited by regulations and political pressure. The presence of art can also evoke empathy, inspire other artworks, shift mindsets, and even lead to changes in societal attitudes and behaviors.
Using art as a form of protest is not new in Indonesia. However, in recent years, this movement has grown significantly through the involvement of Indonesian youth and the utilization of digital spaces. This expression can be seen in murals and graffiti appearing in public spaces or around mass demonstrations. Music has also become a powerful medium for protest, with many Indonesian musicians addressing issues of environmental crisis, human rights, gender-based violence, and public policies deemed unfavorable to the people. Additionally, media such as zines, poetry, street theater performances, and visual content on social media have become effective channels for conveying critical opinions and reaching a wider audience. Through their artworks, artists act as a link between art and issues that are public concerns.
Nevertheless, using art as a form of protest in Indonesia is not without risks. Many artists face censorship, suppression, and even intimidation for works considered unsettling or disruptive to public order. Legal protection for artistic freedom remains weak, especially for independent artists. Furthermore, there is still a negative stigma attached to artists who voice criticism, which limits their room for movement. Moreover, societal rejection and powerlessness in accepting messages conveyed through art are also risks that must be faced.
In a situation where democratic space is increasingly limited and freedom of expression risks criminalization, many Indonesian youth still choose to speak out through their artworks.
For Evinka Zahra, a participant in Freedom Unleashed, art is one of the most easily accepted forms of criticism by society because it is already a part of daily life, making criticism through art feel more effective and emotionally impactful. She believes that art can open new perspectives without being preachy, making heavy issues like civil liberties and human rights feel more grounded and emotional. However, Evinka also recognizes that support for the art scene in regions, particularly in Pontianak, is still minimal. She hopes that young people working in the art field can receive better facilities and support, such as cultural parks and other public spaces that are truly utilized to foster a healthier and more sustainable art ecosystem.
Meanwhile, another Freedom Unleashed participant, Chairunnisa, emphasizes that art has the power to transcend emotional, logical, and even censorship boundaries. In socio-political conditions that often restrict open criticism, art emerges as a medium that remains sharp without needing to be confrontational. She sees great potential in how art sparks curiosity, opens space for interpretation, and invites the public to discuss. As a young artist, she wants to create without fear of censorship or intimidation. She asserts that the state should not only grant freedom but also take a stand by providing real protection for artists so that artistic freedom can thrive, enabling society to understand themselves and the reality they face.