top of page

Blog

Di tengah kompleksitas isu sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang marak pada beberapa waktu terakhir, seni telah menjadi ruang alternatif yang dimanfaatkan oleh anak muda Indonesia untuk menyuarakan keresahan, membangun kesadaran kolektif, menyampaikan kritik, dan mendorong perubahan. Bagi mereka, seni bukan hanya menjadi karya yang dinikmati keindahannya, tetapi juga menjadi bentuk ekspresi yang mampu menyuarakan protes tanpa harus dibatasi oleh batas-batas politik, sosial, maupun moral. Seni menjadi suatu media yang memungkinkan anak muda Indonesia untuk menyampaikan pesan-pesan kritis tanpa harus bersifat konfrontatif, namun pesan protes tetap tersampaikan, bahkan ketika aksi fisik dibatasi oleh regulasi dan tekanan politik. Adanya seni pun dapat memunculkan perasaan empati, menjadi inspirasi terhadap karya seni lainnya, perubahan pola pikir, hingga menimbulkan perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

Menjadikan seni sebagai bentuk protes bukanlah hal yang baru di Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan ini semakin berkembang melalui keterlibatan anak muda Indonesia, serta adanya pemanfaatan ruang digital. Ekspresi ini dapat dilihat dalam bentuk mural dan graffiti yang muncul di ruang publik atau di sekitar aksi massa. Musik pun menjadi media protes yang kuat, banyak musisi di Indonesia membahas isu krisis lingkungan, hak asasi manusia, kekerasan berbasis gender, dan kebijakan publik yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Selain itu, media seperti zine, puisi, pertunjukan teater jalanan, hingga konten visual di media sosial menjadi media yang efektif untuk menyampaikan opini kritis dan dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Melalui karya seninya, para seniman berperan sebagai penghubung antara seni dengan isu-isu yang menjadi keresahan publik.

Meskipun demikian, menggunakan seni sebagai bentuk protes di Indonesia tidak lepas dari risiko. Banyak seniman harus menghadapi penyensoran, pembungkaman, bahkan intimidasi atas karya yang dianggap meresahkan atau mengganggu ketertiban umum. Perlindungan hukum terhadap kebebasan berkesenian pun masih lemah, terutama terhadap seniman independen. Selain itu, masih ada stigma negatif bagi seniman yang menyuarakan kritik yang kemudian membatasi ruang gerak mereka. Selain itu, adanya penolakan dan ketidakberdayaan dalam masyarakat dalam menerima pesan yang disampaikan melalui karya seni pun merupakan salah satu risiko yang harus dihadapi.


Dalam situasi dimana ruang demokrasi semakin terbatas dan kebebasan berekspresi berisiko dikriminalisasi, banyak anak muda Indonesia tetap memilih untuk bersuara melalui karya seni. Bagi Evinka Zahra, salah satu peserta Freedom Unleashed, karya seni merupakan salah satu bentuk kritik yang paling mudah diterima oleh masyarakat karena seni sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sehingga kritik melalui seni terasa lebih efektif dan kuat daya jangkau emosinya. Ia percaya bahwa seni mampu membuka perspektif baru tanpa menggurui, membuat isu-isu berat seperti kebebasan sipil dan HAM terasa lebih membumi dan emosional. Namun, Evinka juga menyadari bahwa dukungan terhadap dunia seni di daerah, khususnya di Pontianak, masih minim. Harapannya agar anak muda yang berjuang di lakur seni bisa mendapat fasilitas dan dukungan yang lebih baik, seperti taman budaya dan ruang-ruang publik lainnya benar-benar difungsikan untuk mendukung ekosistem seni dapat berkembang lebih sehat dan berkelanjutan.

Sementara itu, peserta Freedom Unleashed lainnya, Chairunnisa, menegaskan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menembus batas emosi, logika, bahkan sensor. Dalam kondisi sosial politik yang kerap membatasi kritik terbuka, karya seni hadir sebagai media yang tetap tajam tanpa perlu bersifat konfrontatif. Ia melihat potensi besar dalam cara seni menggugah rasa ingin tahu, membuka ruang tafsir, dan mengajak publik untuk berdiskusi. Sebagai seniman muda, ia ingin berkarya tanpa rasa takut disensor atau diintimidasi. Ia menegaskan bahwa negara tidak cukup hanya membebaskan, tetapi juga harus berpihak dengan memberikan perlindungan yang nyata bagi para pekerja seni agar kebebasan berkesenian tetap hidup karena masyarakat dapat belajar memahami dirinya sendiri dan realitas yang mereka hadapi.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

English Version:

Artivism as a Tool of Protest for Young People in Indonesia


Amidst the complexities of recent social, economic, political, and environmental issues, art has become an alternative space utilized by Indonesian youth to voice their concerns, build collective awareness, deliver criticism, and drive change. For them, art is not merely a work appreciated for its aestheticaly, but also a form of expression capable of medium of protest without being confined by political, social, or moral boundaries. Art serves as a medium that allows Indonesian youth to convey critical messages non-confrontationally, yet the message of protest is still delivered, even when physical actions are limited by regulations and political pressure. The presence of art can also evoke empathy, inspire other artworks, shift mindsets, and even lead to changes in societal attitudes and behaviors.


Using art as a form of protest is not new in Indonesia. However, in recent years, this movement has grown significantly through the involvement of Indonesian youth and the utilization of digital spaces. This expression can be seen in murals and graffiti appearing in public spaces or around mass demonstrations. Music has also become a powerful medium for protest, with many Indonesian musicians addressing issues of environmental crisis, human rights, gender-based violence, and public policies deemed unfavorable to the people. Additionally, media such as zines, poetry, street theater performances, and visual content on social media have become effective channels for conveying critical opinions and reaching a wider audience. Through their artworks, artists act as a link between art and issues that are public concerns.


Nevertheless, using art as a form of protest in Indonesia is not without risks. Many artists face censorship, suppression, and even intimidation for works considered unsettling or disruptive to public order. Legal protection for artistic freedom remains weak, especially for independent artists. Furthermore, there is still a negative stigma attached to artists who voice criticism, which limits their room for movement. Moreover, societal rejection and powerlessness in accepting messages conveyed through art are also risks that must be faced.

In a situation where democratic space is increasingly limited and freedom of expression risks criminalization, many Indonesian youth still choose to speak out through their artworks.


For Evinka Zahra, a participant in Freedom Unleashed, art is one of the most easily accepted forms of criticism by society because it is already a part of daily life, making criticism through art feel more effective and emotionally impactful. She believes that art can open new perspectives without being preachy, making heavy issues like civil liberties and human rights feel more grounded and emotional. However, Evinka also recognizes that support for the art scene in regions, particularly in Pontianak, is still minimal. She hopes that young people working in the art field can receive better facilities and support, such as cultural parks and other public spaces that are truly utilized to foster a healthier and more sustainable art ecosystem.


Meanwhile, another Freedom Unleashed participant, Chairunnisa, emphasizes that art has the power to transcend emotional, logical, and even censorship boundaries. In socio-political conditions that often restrict open criticism, art emerges as a medium that remains sharp without needing to be confrontational. She sees great potential in how art sparks curiosity, opens space for interpretation, and invites the public to discuss. As a young artist, she wants to create without fear of censorship or intimidation. She asserts that the state should not only grant freedom but also take a stand by providing real protection for artists so that artistic freedom can thrive, enabling society to understand themselves and the reality they face.


 
 
 

Sejak November 2023 hingga April 2025,  2030 YouthForce Indonesia telah berhasil melaksanakan program yang kami beri nama Freedom Unleashed. Freedom Unleashed sendiri merupakan bagian dari aliansi WeRise, yang bekerjasama dengan CIVICUS Global Alliance dengan tujuan untuk memperluas kebebasan sipil, HAM dan Hak Berkumpul Secara Damai (Freedom of Peaceful Assembly).


Freedom Unleashed yang dinisiasi oleh 2030 YFI, berfokus pada 3 aspek. Yakni;

A, Meningkatkan kesadaran orang muda tentang pentingnya kebebasan sipil termasuk hak berkumpul secara damai di Indonesia

B. Mengkapasitasi orang muda untuk bisa mengetahui dasar-dasar hukum kebebasan sipil di Indonesia dan bagaimana mereka bisa mengimplementasikannya melalui berbagai medium kreatif

C. Mendorong pemberdayaan orang muda agar bisa mengadvokasikan isu kebebasan sipi melalui media kreatif ataupun seni


Program ini sendiri, dibagi ke dalam 2 siklus. Siklus pertama dilaksanakan mulai dari November 2023 - Juni 2024. Sementara untuk siklus kedua dilaksanakan mulai dari November 2024 - April 2025. Selama satu setengah tahun program ini berjalan, 93 orang muda dari 18 Provinsi di Indonesia telah berhasil ter kapasitasi dan berpartisipasi dalam mendorong isu kebebasan sipil di Indonesia. 


Siklus Pertama (November 2023 - Juni 2024)

Dalam siklus pertama, kami berhasil mengkapasitasi total 38 orang muda di Indonesia dari 9 Provinsi di Indonesia melalui pelatihan kapasitas yang dilakukan secara hybrid. Dalam pelaksanaan pelatihan ini, kami berkerjasama dengan Komnas HAM, Amnesty Indonesia, Pamflet Generasi, Narasi, SAFENet,  LBH Apik, PSHK, dan Project Multatuli. 


Peserta belajar mengenai dasar-dasar kebebasan sipil di Indonesia, partisipasi orang muda secara bermakna, kebebasan berekspresi di ruang digital serta memperkuat kampanye digital di media sosial untuk menyuarakan berbagai isu yang masih menjadi ancaman bagi kebebasan sipil di Indonesia. 


Sebagai hasil dari kapasitas ini, peserta program berhasil memproduksi total 93 konten video digital yang menyuarakan tentang pentingnya hak berekspresi, berpendapat, berkumpul secara damai (kebebasan sipil), keadilan sosial bagi kelompok marginal, kampanye terkait revisi UU ITE dan juga KUHP baru. 


Sebagai langkah berkelanjutan untuk siklus pertama ini. Kami juga memproduksi sebuah Buku Saku panduan terkait pentingnya kontribusi orang muda untuk isu kebebasan sipil, dan bagaimana mereka bisa menyuarakan isu tersebut, melalui kampanye digital. 


Dalam proses pembuatan buku saku ini, 2030 YFI berkolaborasi bersama 13 organisasi orang muda lainnya, dalam pertemuan konsultatif untuk membahas poin-poin penting apa saja yang perlu disuarakan atau dimasukan ke dalam buku saku panduan ini. 


Siklus Kedua (November 2024 - April 2025)

Pada siklus kedua, kami juga melakukan kegiatan peningkatan kapasitas dan kampanye kolaboratif, namun yang membedakan dari siklus pertama ialah, kami berusaha untuk menyasar jangkauan orang muda yang lebih banyak dan luas, serta mencoba menggunakan medium seni kreatif sebagai bentuk advokasi isu kebebasan sipil. 


Pada siklus kedua ini, kami mengkapasitasi 55 orang muda dari 13 Provinsi di Indonesia. Pelatihan kapasitas ini dilakukan dalam 2 hari rangkaian yang diikuti oleh 28 peserta secara daring (11-12 Januari 2025) dan 27 peserta secara luring (25-26 Januari 2025). Dalam pelatihan kapasitas siklus kedu aini, kami bekerjasama dengan Amnesty Indonesia, PSHK, Remotivi dan seniman Ika Vantiani. 


Sebagai hasil belajar dari pelatihan kapasitas ini, peserta diminta untuk membuat satu karya video kampanye kolaboratif dan satu karya seni yang dipamerkan dalam pameran bertajuk Freedom (Art)ssembly. Total ada 36 video kampanye kolaboratif yang diproduksi dan ada 36 karya seni yang berupa, lukisan, ilustrasi, poster, instalasi, game, clay, dan puisi dihasilkan oleh tangan-tangan hebat peserta. 

Karya tersebut dipertunjukan dalam kegiatan Freedom (Art)Ssembly Exhibition and Talkshow pada 22 Maret 2025, di Taman Ismail Marzuki. Dalam kegiatan ini, karya peserta dapat dipelajari dan dinikmati oleh para pengunjung yang hadir. Harapannya karya peserta mampu meningkatkan kesadaran bagi pengunjung umum tentang pentingnya kebebasan sipil dan peran orang muda dalam mendorong isu tersebut. Tidak hanya pameran, kami juga mengadakan beberapa kegiatan kreatif seperti lokakarya pembuatan gantungan kunci dan kolase dengan tema Kebebasan sipil dan HAM. 


Sebagai puncak acara,kami mengadakan dialog publik dengan tema “Memperluas Kebebasan Sipil Melalui Media Kreatif.” dengan narasumber Fatia Maulidiyanti (Pegiat HAM), Hafez Gumay (Koalisi Seni), Fitriyani (KontraS), dan Aidia Awwaaba (2030 YouthForce Indonesia) yang mendiskusikan bagaimana situasi kebebasan sipil saat ini, dan bagaimana medium media kreatif dan seni bisa digunakan sebagai salah satu bentuk protes dan kritik terhadap situasi-situasi yang mengekang kebebasan sipil saat ini. 

Lewat program ini kami berharap bisa meningkatkan kapasitas bagi orang muda bisa menyuarakan hak sipil mereka. Hafiz, salah satu peserta Freedom Unleashed asal Aceh mengungkapkan jika , selama mengikuti program, selain paham dengan kondisi kebebasan sipil dan HAM di Indonesia, ia juga mengerti bagaimana bisa menjadikan media seni sebagai media berekspresi. “it's better to take a small action than do nothing.” ungkapnya. Selain itu Iman, peserta lain menceritakan bagaimana aelama kegiatan Freedom Unleashed, ia belajar banyak bahwa perjuangan atas kebebasan merupakan perjuangan untuk semua orang dan merupakan kesempatan yang luar biasa bisa bertukar pengalaman dan mendengar cerita kawan-kawan dari beragam daerah, isu, dan organisasi yang menyadarkan pentingnya interseksionalitas dalam perjuangan, kolaborasi, serta partisipatoris yang melampaui tokenisme dan representasi.


Sebagai penutup, partisipan lainnya, Meira Fenderissa mengungkapkan bahwa program ini mengajaknya tidak hanya memahami materi tapi berproses dalam proyek pameran kolektif. Selama menggarap karya tersebut, ia merenungkan ulang pelajaran dari sesi-sesi workshop dan mengaitkannya dengan dinamika politik yang sedang terjadi. Proses ini menjadi pengalaman yang sangat berharga dan eksklusif baginya sebagai orang muda. Melalui program ini, ia merasa siap untuk melanjutkan advokasi dalam isu HAM dan kebebasan sipil lainnya. 


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

English Version:


2030 YFI Successfully Empowers 93 Young Indonesians to Promote Civic Freedom and Human Rights Through Freedom Unleashed


From November 2023 to April 2025, 2030 YouthForce Indonesia successfully implemented a Freedom Unleashed. Freedom Unleashed is part of the WeRise alliance, collaborating with CIVICUS Global Alliance, with the aim of expanding civic freedom. human rights, and the freedom of peaceful assembly.

Freedom Unleashed, initiated by 2030 YFI, focuses on three aspects: 

A. Increasing youth awareness about the importance of civic freedom including the right to peaceful assembly, in Indonesia.

 B. Empowering young people to understand the legal foundations of civic freedom in Indonesia and how they can implement them through various creative mediums.

 C. Encouraging youth empowerment to advocate for civic freedom issues through creative media or art.


This program was divided into two cycles. The first cycle ran from November 2023 to June 2024, while the second cycle ran from November 2024 to April 2025. Over the one and a half years of the program, 93 young people from 18 provinces in Indonesia were successfully empowered and participated in promoting civic freedom in Indonesia.



First Cycle (November 2023 - June 2024)

In the first cycle, we successfully empowered a total of 38 young people from 9 provinces in Indonesia through hybrid capacity-building training. For this training, we collaborated with Komnas HAM, Amnesty Indonesia, Pamflet Generasi, Narasi, SAFENet, LBH Apik, PSHK, and Project Multatuli.


Participants learned about the fundamentals of civic freedom in Indonesia, meaningful youth participation, freedom of expression in digital spaces, and strengthening digital campaigns on social media to voice various issues that still threaten civic freedom in Indonesia.

As a result of this capacity building, program participants successfully produced a total of 93 digital video content pieces advocating for the importance of freedom of expression, opinion, peaceful assembly (civic freedom), social justice for marginalized groups, and campaigns related to the revision of the ITE Law and the new Criminal Code.

As a continuous step for this first cycle, we also produced a pocket guide book on the importance of youth contributions to civic freedom issues and how they can voice these issues through digital campaigns.

In the process of creating this pocket guide, 2030 YFI collaborated with 13 other youth organizations in consultative meetings to discuss key points that needed to be voiced or included in the guide book.



Second Cycle (November 2024 - April 2025)

In the second cycle, we also conducted capacity building activities and collaborative campaigns, but what differentiated it from the first cycle was our effort to reach a larger and wider youth audience and to try using creative art as a form of civic freedom advocacy.

In this second cycle, we empowered 55 young people from 13 provinces in Indonesia. This capacity training was conducted in a two-day series attended by 28 participants online (January 11-12, 2025) and 27 participants offline (January 25-26, 2025). In this second cycle's capacity training, we collaborated with Amnesty Indonesia, PSHK, Remotivi, and artist Ika Vantiani.


As a learning outcome from this capacity training, participants were asked to create one collaborative campaign video and one art piece to be exhibited in an exhibition titled Freedom (Art)ssembly. A total of 36 collaborative campaign videos were produced, and 36 art pieces, including paintings, illustrations, posters, installations, games, clay, and poetry, were created by the talented hands of the participants.


These works were showcased at the Freedom (Art)ssembly Exhibition and Talkshow on March 22, 2025, at Taman Ismail Marzuki. During this event, visitors could learn from and enjoy the participants' works. The hope is that the participants' works can raise awareness among the general public about the importance of civic freedom and the role of young people in promoting these issues. In addition to the exhibition, we also held several creative activities such as workshops for making keychains and collages with the theme of Civic freedom and Human Rights.


As the highlight of the event, we held a public dialogue with the theme "Expanding Civic Freedom Through Creative Media," featuring speakers Fatia Maulidiyanti (Human Rights Activist), Hafez Gumay (Koalisi Seni), Fitriyani (KontraS), and Aidia Awwaaba (2030 YouthForce Indonesia), who discussed the current situation of civic freedom and how creative media and art can be used as a form of protest and critique against situations that currently restrict civic freedom.


Through this program, we hope to increase the capacity of young people to voice their civil rights. Hafiz, a participant of Freedom Unleashed from Aceh, revealed that during the program, besides understanding the condition of civil liberties and human rights in Indonesia, he also learned how to use art as a medium for expression. "It's better to take a small action than do nothing," he stated. Additionally, Iman, another participant, shared how during the Freedom Unleashed activities, he learned a lot that the struggle for freedom is a struggle for everyone and that it was an extraordinary opportunity to exchange experiences and hear stories from friends from various regions, issues, and organizations. This made him realize the importance of intersectionality in the struggle, collaboration, and participatory approaches that go beyond tokenism and mere representation.


Finally, another participant, Meira Fenderissa, stated that the program not only helped her understand the material but also involved her in the process of a collective exhibition project. While working on the piece, she re-evaluated the lessons from the workshop sessions and connected them to the ongoing political dynamics. This process became a very valuable and exclusive experience for her as a youth Through this program, she feels ready to continue advocating for human rights and other civil liberty issues.


 
 
 

Sumber: Unsplash.com


"Pernahkah kamu membayangkan jika kita tidak bisa menyuarakan kritik-kritik ataupun berpatisipasi aktif lagi dalam mengambil keputusan, ibarat seperti burung dalam kandang, terlihat kita bisa berkicau dengan nyaring, tetapi sebenarnya kita terkurung dalam kandang."


Kebebasan berbicara, berekspresi, dan berkumpul secara damai (Freedom of Peaceful Assembly FoPA) adalah hak dasar yang dijamin dalam konstitusi Indonesia, khususnya dalam Pasal 28E dan 28F UUD 1945. Sejak era reformasi 1998, orang muda di Indonesia bisa menikmati ruang yang lebih luas untuk berpendapat dibandingkan masa Orde Baru. Namun, dalam praktiknya, kebebasan tersebut masih menghadapi banyak tantangan dan pembatasan, terutama di tengah dinamika politik dan perkembangan teknologi saat ini. Data dari Freedom House, menunjukkan indeks kebebasan di Indonesia pada tahun 2025 semakin terpuruk di angka 56, yang sebelumnya tahun 2024 di angka 57 dan menjadikan Indonesia berada pada kategori kebebasan sebagian (partly free). Termasuk data dari CIVICUS Monitor tahun 2024 tentang ruang sipil, menempatkan Indonesia pada skor 48, termasuk dalam kategori terhambat (obstructed).


Dalam beberapa tahun terakhir, orang muda Indonesia menunjukkan peran aktif dalam berbagai isu sosial dan politik. Gerakan seperti #ReformasiDikorupsi (2019), aksi menolak Omnibus Law (2020), Peringatan Darurat (2024), dan terakhir pada aksi Indonesia Gelap (2025) termasuk dalam aksi penolakan RUU TNI. Media sosial seperti Twitter/X, Instagram, dan TikTok menjadi alat penting dalam menyuarakan pendapat, mengorganisasi gerakan, dan membangun solidaritas antar elemen masyarakat. Namun, ruang ekspresi saat ini tidak sepenuhnya aman. Salah satu hambatan utama adalah hadirnya UU ITE yang sering digunakan untuk menjerat individu karena dugaan pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong. Banyak kasus di mana aktivis muda, mahasiswa, bahkan pengguna biasa menghadapi proses hukum hanya karena mengkritik pejabat publik atau kebijakan pemerintah di dunia maya.


Selain itu, kebebasan berkumpul secara damai juga sering dihadapkan pada pembatasan. Meskipun secara hukum demonstrasi diakui dan diatur, dalam praktiknya unjuk rasa mahasiswa atau kelompok muda sering kali dihadang dengan aparat keamanan dalam jumlah besar atau menghadapi jeratan administrasi yaitu perizinan. Tidak jarang terjadi bentrokan yang berujung pada kekerasan, intimidasi, bahkan penangkapan. Di aksi penolakan RUU TNI Maret 2025 lalu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) merilis terdapat 69 titik aksi demonstrasi di mana aksi kekerasan oleh aparat dilakukan di 15 titik, dengan rincian 68 orang mengalami luka-luka dan 153 orang ditangkap oleh aparat. Prosedur perizinan untuk mengadakan aksi pun juga menjadi alat administratif untuk memperlambat atau menghalangi penyampaian aspirasi. Masalah lain yang juga mengemuka adalah pengawasan digital. Aktivis muda yang aktif di dunia maya menghadapi risiko pemantauan, peretasan akun, hingga doxing. Ini menimbulkan kekhawatiran terhadap privasi dan keamanan digital mereka, yang pada akhirnya membatasi ruang gerak dalam berkegiatan sosial-politik.


Meski tantangan-tantangan tersebut ada, kaum muda Indonesia tetap kreatif dalam menemukan saluran alternatif untuk berekspresi. Melalui seni, musik, meme, film, hingga kampanye digital berbasis komunitas, mereka terus memperjuangkan hak-haknya. Bentuk-bentuk aksi damai yang inovatif ini menunjukkan bahwa semangat perubahan masih menyala kuat di tengah keterbatasan. Oleh karena itu, penting untuk memperjuangkan revisi regulasi yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, memperkuat pendidikan hak asasi manusia, dan mendorong reformasi dalam praktik keamanan publik. Perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak sipil termasuk memperkuat kerja kolaborasi orang-orang muda bersama seluruh elemen masyarakat sipil akan memastikan bahwa orang muda Indonesia dapat terus berpartisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang adil, demokratis, dan inklusif.

 

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


English Version:

Youth situation in Midst of Shrinking Space for Civic Freedom in Indonesia


"Have you ever imagined if we could no longer voice criticism or actively participate in decision-making? It would be like a bird in a cage; it looks like we can chirp loudly, but in reality we are locked in a cage."


Freedom of speech, expression, and peaceful assembly (Freedom of Peacefully Assembly, or FoPA) is a basic right guaranteed in the Indonesian constitution, especially in Articles 28E and 28F of the 1945 Constitution. Since the 1998 reform era, young people in Indonesia have been able to enjoy a wider space to express their opinions compared to the New Order era. However, in practice, this freedom still faces many challenges and restrictions, especially amidst the current political dynamics and technological developments. Data from Freedom House shows that the freedom index in Indonesia in 2025 will continue to decline to 56, which was previously at 57 in 2024 and placed Indonesia in the partially free category. Including data from the 2024 CIVICUS Monitor on civil space, placing Indonesia at a score of 48, included in the obstructed category.


In recent years, young Indonesians have played an active role in various social and political issues. Movements such as #ReformasiDikorupsi (2019), the action to reject the Omnibus Law (2020), Peringatan Darurat (2024), and most recently the Indonesia Gelap action (2025) are included in the action to reject the TNI Bill. Social media such as Twitter/X, Instagram, and TikTok have become important tools in voicing opinions, organizing movements, and building solidarity between elements of society. However, the current space for expression is not entirely safe. One of the main obstacles is the presence of the ITE Law, which is often used to ensnare individuals for alleged defamation or spreading fake news. There are many cases where young activists, students, and even ordinary users face legal proceedings simply for criticizing public officials or government policies in cyberspace.


In addition, freedom of peaceful assembly is also often faced with restrictions. Although demonstrations are legally recognized and regulated, in practice student or youth group demonstrations are often blocked by large numbers of security forces or face administrative entanglements, namely permits. It is not uncommon for clashes to occur that end in violence, intimidation, and even arrests. In the March 2025 TNI Bill rejection action, the Advocacy Team for Democracy released that there were 69 demonstration points where acts of violence by officers were carried out at 15 points, with details of 68 people being injured and 153 people being arrested by officers. The licensing procedure for holding actions also becomes an administrative tool to slow down or hinder the delivery of aspirations. Another problem that also arises is digital surveillance. Young activists who are active in cyberspace face the risk of monitoring, account hacking, and doxing. This raises concerns about their privacy and digital security, which ultimately limits their space for socio-political activities.


Despite these challenges, young Indonesians remain creative in finding alternative channels for expression. Through art, music, memes, films, and community-based digital campaigns, they continue to fight for their rights. These innovative forms of peaceful action show that the spirit of change still burns strong amidst limitations. Therefore, it is important to fight for revisions to regulations that have the potential to threaten freedom of speech, strengthen human rights education, and encourage reforms in public security practices. Stronger protection of civil rights, including strengthening collaborative work between young people and all elements of civil society, will ensure that young Indonesians can continue to actively participate in building a just, democratic, and inclusive society.


Reference:

Alfathi, B. R. (2025, Maret 23). Indeks kebebasan Indonesia terus turun dalam 1 dekade terakhir. GoodStats Data. https://data.goodstats.id/statistic/indeks-kebebasan-indonesia-terus-turun-dalam-1-dekade-terakhir-WXtL9

CIVICUS. (2024). People Power Under Attack 2024. CIVICUS Monitor. https://civicusmonitor.contentfiles.net/media/documents/GlobalFindings2024.EN.pdf

 Fakta.com. (2025, April 12). TAUD ungkap data kekerasan aparat di 69 titik aksi tolak RUU TNI. https://fakta.com/hukum/fkt-24026/taud-ungkap-data-kekerasan-aparat-di-69-titik-aksi-tolak-ruu-

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 
 

Subscribe to Our Newsletter

Thanks for submitting!

© 2021 by 2030 Youth Force Indonesia

bottom of page