Situasi Orang Muda di Tengah Menyempitnya Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia
- 2030youthforceindo
- Jun 22
- 5 min read

Sumber: Unsplash.com
"Pernahkah kamu membayangkan jika kita tidak bisa menyuarakan kritik-kritik ataupun berpatisipasi aktif lagi dalam mengambil keputusan, ibarat seperti burung dalam kandang, terlihat kita bisa berkicau dengan nyaring, tetapi sebenarnya kita terkurung dalam kandang."
Kebebasan berbicara, berekspresi, dan berkumpul secara damai (Freedom of Peaceful Assembly FoPA) adalah hak dasar yang dijamin dalam konstitusi Indonesia, khususnya dalam Pasal 28E dan 28F UUD 1945. Sejak era reformasi 1998, orang muda di Indonesia bisa menikmati ruang yang lebih luas untuk berpendapat dibandingkan masa Orde Baru. Namun, dalam praktiknya, kebebasan tersebut masih menghadapi banyak tantangan dan pembatasan, terutama di tengah dinamika politik dan perkembangan teknologi saat ini. Data dari Freedom House, menunjukkan indeks kebebasan di Indonesia pada tahun 2025 semakin terpuruk di angka 56, yang sebelumnya tahun 2024 di angka 57 dan menjadikan Indonesia berada pada kategori kebebasan sebagian (partly free). Termasuk data dari CIVICUS Monitor tahun 2024 tentang ruang sipil, menempatkan Indonesia pada skor 48, termasuk dalam kategori terhambat (obstructed).
Dalam beberapa tahun terakhir, orang muda Indonesia menunjukkan peran aktif dalam berbagai isu sosial dan politik. Gerakan seperti #ReformasiDikorupsi (2019), aksi menolak Omnibus Law (2020), Peringatan Darurat (2024), dan terakhir pada aksi Indonesia Gelap (2025) termasuk dalam aksi penolakan RUU TNI. Media sosial seperti Twitter/X, Instagram, dan TikTok menjadi alat penting dalam menyuarakan pendapat, mengorganisasi gerakan, dan membangun solidaritas antar elemen masyarakat. Namun, ruang ekspresi saat ini tidak sepenuhnya aman. Salah satu hambatan utama adalah hadirnya UU ITE yang sering digunakan untuk menjerat individu karena dugaan pencemaran nama baik atau penyebaran berita bohong. Banyak kasus di mana aktivis muda, mahasiswa, bahkan pengguna biasa menghadapi proses hukum hanya karena mengkritik pejabat publik atau kebijakan pemerintah di dunia maya.
Selain itu, kebebasan berkumpul secara damai juga sering dihadapkan pada pembatasan. Meskipun secara hukum demonstrasi diakui dan diatur, dalam praktiknya unjuk rasa mahasiswa atau kelompok muda sering kali dihadang dengan aparat keamanan dalam jumlah besar atau menghadapi jeratan administrasi yaitu perizinan. Tidak jarang terjadi bentrokan yang berujung pada kekerasan, intimidasi, bahkan penangkapan. Di aksi penolakan RUU TNI Maret 2025 lalu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) merilis terdapat 69 titik aksi demonstrasi di mana aksi kekerasan oleh aparat dilakukan di 15 titik, dengan rincian 68 orang mengalami luka-luka dan 153 orang ditangkap oleh aparat. Prosedur perizinan untuk mengadakan aksi pun juga menjadi alat administratif untuk memperlambat atau menghalangi penyampaian aspirasi. Masalah lain yang juga mengemuka adalah pengawasan digital. Aktivis muda yang aktif di dunia maya menghadapi risiko pemantauan, peretasan akun, hingga doxing. Ini menimbulkan kekhawatiran terhadap privasi dan keamanan digital mereka, yang pada akhirnya membatasi ruang gerak dalam berkegiatan sosial-politik.
Meski tantangan-tantangan tersebut ada, kaum muda Indonesia tetap kreatif dalam menemukan saluran alternatif untuk berekspresi. Melalui seni, musik, meme, film, hingga kampanye digital berbasis komunitas, mereka terus memperjuangkan hak-haknya. Bentuk-bentuk aksi damai yang inovatif ini menunjukkan bahwa semangat perubahan masih menyala kuat di tengah keterbatasan. Oleh karena itu, penting untuk memperjuangkan revisi regulasi yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat, memperkuat pendidikan hak asasi manusia, dan mendorong reformasi dalam praktik keamanan publik. Perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak sipil termasuk memperkuat kerja kolaborasi orang-orang muda bersama seluruh elemen masyarakat sipil akan memastikan bahwa orang muda Indonesia dapat terus berpartisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang adil, demokratis, dan inklusif.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
English Version:
Youth situation in Midst of Shrinking Space for Civic Freedom in Indonesia
"Have you ever imagined if we could no longer voice criticism or actively participate in decision-making? It would be like a bird in a cage; it looks like we can chirp loudly, but in reality we are locked in a cage."
Freedom of speech, expression, and peaceful assembly (Freedom of Peacefully Assembly, or FoPA) is a basic right guaranteed in the Indonesian constitution, especially in Articles 28E and 28F of the 1945 Constitution. Since the 1998 reform era, young people in Indonesia have been able to enjoy a wider space to express their opinions compared to the New Order era. However, in practice, this freedom still faces many challenges and restrictions, especially amidst the current political dynamics and technological developments. Data from Freedom House shows that the freedom index in Indonesia in 2025 will continue to decline to 56, which was previously at 57 in 2024 and placed Indonesia in the partially free category. Including data from the 2024 CIVICUS Monitor on civil space, placing Indonesia at a score of 48, included in the obstructed category.
In recent years, young Indonesians have played an active role in various social and political issues. Movements such as #ReformasiDikorupsi (2019), the action to reject the Omnibus Law (2020), Peringatan Darurat (2024), and most recently the Indonesia Gelap action (2025) are included in the action to reject the TNI Bill. Social media such as Twitter/X, Instagram, and TikTok have become important tools in voicing opinions, organizing movements, and building solidarity between elements of society. However, the current space for expression is not entirely safe. One of the main obstacles is the presence of the ITE Law, which is often used to ensnare individuals for alleged defamation or spreading fake news. There are many cases where young activists, students, and even ordinary users face legal proceedings simply for criticizing public officials or government policies in cyberspace.
In addition, freedom of peaceful assembly is also often faced with restrictions. Although demonstrations are legally recognized and regulated, in practice student or youth group demonstrations are often blocked by large numbers of security forces or face administrative entanglements, namely permits. It is not uncommon for clashes to occur that end in violence, intimidation, and even arrests. In the March 2025 TNI Bill rejection action, the Advocacy Team for Democracy released that there were 69 demonstration points where acts of violence by officers were carried out at 15 points, with details of 68 people being injured and 153 people being arrested by officers. The licensing procedure for holding actions also becomes an administrative tool to slow down or hinder the delivery of aspirations. Another problem that also arises is digital surveillance. Young activists who are active in cyberspace face the risk of monitoring, account hacking, and doxing. This raises concerns about their privacy and digital security, which ultimately limits their space for socio-political activities.
Despite these challenges, young Indonesians remain creative in finding alternative channels for expression. Through art, music, memes, films, and community-based digital campaigns, they continue to fight for their rights. These innovative forms of peaceful action show that the spirit of change still burns strong amidst limitations. Therefore, it is important to fight for revisions to regulations that have the potential to threaten freedom of speech, strengthen human rights education, and encourage reforms in public security practices. Stronger protection of civil rights, including strengthening collaborative work between young people and all elements of civil society, will ensure that young Indonesians can continue to actively participate in building a just, democratic, and inclusive society.
Reference:
Alfathi, B. R. (2025, Maret 23). Indeks kebebasan Indonesia terus turun dalam 1 dekade terakhir. GoodStats Data. https://data.goodstats.id/statistic/indeks-kebebasan-indonesia-terus-turun-dalam-1-dekade-terakhir-WXtL9
CIVICUS. (2024). People Power Under Attack 2024. CIVICUS Monitor. https://civicusmonitor.contentfiles.net/media/documents/GlobalFindings2024.EN.pdf
Fakta.com. (2025, April 12). TAUD ungkap data kekerasan aparat di 69 titik aksi tolak RUU TNI. https://fakta.com/hukum/fkt-24026/taud-ungkap-data-kekerasan-aparat-di-69-titik-aksi-tolak-ruu-
Comments